Berita7. Banyuwangi– Kabar miring kembali menerpa program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Banyuwangi. Bedanya, kali ini yang terjadi bukan penggendutan biaya pengurusan, namun dugaan pungli saat proses penyerahan sertifikat tanah kepada masyarakat peserta program PTSL.

Kabar tak sedap tersebut berhembus dari program PTSL tahun 2019 di Desa Kesilir, Kecamatan Siliragung, sesuai ketentuan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, tiap peserta dipatok Rp 150 ribu per bidang.

Lebih dari 4 ribu warga ikut mendaftar, namun ditahap pertama ditahun 2020, 2 ribuan lebih sertifikat tanah terbit, disinilah polemik bermula.

Entah atas arahan siapa, saat proses penyerahan sertifikat program PTSL di Desa Kesilir, warga dimintai uang sebesar Rp 100 ribu, sontak dugaan praktik pungli ini dikeluhkan, mengingat perekonomian warga juga sedang jeblok imbas pandemi Covid-19.

Disisi lain, pungutan uang dalam proses serah terima sertifikat PTSL ini disebut-sebut dilakukan sepihak, alasanya pun terkesan tidak masuk akal, yakni untuk biaya pembelian ambulance desa, yang notabene bisa dialokasikan dari anggaran Pemerintah Desa Kesilir, sehingga tidak membebani kalangan Wong Cilik ditengah keterpurukan ekonomi Covid-19.

“Kalau gak mau bayar, katanya akan dipersulit (proses serah terima sertifikat tanah program PTSL),” ucap I, salah satu peserta program PTSL di Desa Kesilir, Kamis (7/1/2021).

Yang paling disayangkan, pungutan Rp 100 ribu tersebut tanpa diawali musyawarah, alias tiba–tiba ada perwakilan masyarakat yang bertugas mengumpulkan uang pungutan.

“Pungutan itu adalah kesepakatan masyarakat, sesuai kesepakatan uang yang terkumpul untuk membeli ambulance desa,” kata Muningran.

Muningran adalah salah satu warga yang mengaku sebagai relawan untuk memungut uang Rp 100 ribu kepada peserta PTSL di Desa Kesilir. Menurutnya, apa yang dia lakukan bersama sejumlah relawan lain bersifat independen, atau tidak ada kaitan dengan kebijakan Pemerintah Desa Kesilir, maupun Panitia PTSL tahun 2019 Desa Kesilir.

Tapi anehnya, meski mengaku tidak berkaitan dengan Panitia PTSL, Muningran bisa tahu sertifikat tanah peserta PTSL mana saja yang sudah jadi dan akan diserah terimakan.

“Ada yang tidak mau bayar juga. Yang sudah terkumpul Rp 149 juta, harga mobil ambulance Rp 196 juta, masih kurang, sekarang mobil ambulance sudah diserahkan ke desa,” jelas Muningran.

Dia berdalih, alasan berani memungut uang Rp 100 ribu pada peserta program PTSL karena sudah menjadi hasil musyawarah seluruh masyarakat, bahkan menurutnya, musyawarah bukan hanya dilakukan satu kali, tapi sampai empat kali, dan pada pertemuan keempat tersebut dihadiri Kepala Desa (Kades) Kesilir, Supri.

“ Pak Kades Supri mengatakan, kalau masyarakat oke ya mendukung,” cetusnya.

Sementara itu, Kades Kesilir, Supri, menyampaikan bahwa pungutan uang Rp 100 ribu saat serah terima sertifikat PTSL merupakan inisiatif masyarakat, dan tidak ada kaitan dengan Panitia PTSL dan Pemerintah Desa Kesilir, walau pun mobil ambulance tersebut kini telah diserah terimakan kepada Pemerintah Desa Kesilir.

“Sebenarnya Pemerintah Desa juga menolak dibelikan, tapi saya minta pendapat Kasie Intel Kejaksaan, asal untuk kepentingan masyarakat gak apa-apa,” katanya.

Siapa Kasie Intel Kejaksaan yang membenarkan adanya pungutan ditengah keterpurukan ekonomi masa pandemi, Kades Supri enggan menjelaskan.

Dikonfirmasi terpisah, Sinung salah satu panitia PTSL tahun 2019 Desa Kesilir, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan pungutan dalam proses serah terima sertifikat tanah.

Dari kejadian ini, masyarakat di Desa Kesilir, Kecamatan Siliragung, Banyuwangi, berharap adanya penegakan supremasi hukum, karena dikhawatirkan jika kasus pungutan sepihak bebas dilakukan akan berpotensi banyak masyarakat yang akan dirugikan.

(Snt)

Berita7