Berita7 | CERPEN,. – Hari ini kamis, tanggal merah, besoknya masih Cuti bersama, Kalender sudah lama ditandai merah terang dan grup WhatsApp ramai dengan karena bahagia,

*_“Selamat liburan, teman-teman!”_*

serta foto-foto keluarga ASN bagian administrasi yang sedang sarapan di vila pegunungan atau bermain air di pantai.

Tapi tidak dengan Satria Perkasa dan Seluruh Personil lapangan.

Pukul 05.30 Wib. pagi, Ia sudah mengenakan seragam dinas lapangan. Sepatu PDL’nya belum sempat di semir, karena hari sebelumnya seharian anter jemput anak sekolah dan Istirahat pengganti Tidur malam. Ia menyalakan Handy Talkie (HT) yang langsung menyala dengan suara lantang:

“Satria, segera kamu dan Peletonmu ke Pasar. PKL tidak mau merapihkan dan menutup dagangannya dan ngotot tetap buka lapak. Ingat, ketertiban wilayah dalam kota harus dijaga…!

Satria dengan tenang menarik napas. Melihat anak dan Istrinya Masih tidur dengan sendu, seharusnya hari libur bisa bermain dan bercengkrama dengan mereka.

Ia mengeluarkan motor yang biasa dia pakai kerja secara perlahan agar tidak membangunkan anak istrinya.

Dalam hati ia menertawakan kata “cuti bersama”* yang hanya jadi hak istimewa segelintir orang di kantor atas.

Kami ini saat ini ASN juga, tapi kenapa rasanya seperti rakyat kelas dua yang terus dalam ancaman dan tekanan, gumamnya.

_Sesampainya di pasar, ia langsung bergabung bersama rekan-rekan sesama personil lapangan menghadapi pedagang-pedagang yang masih menggelar lapak dagangannya. Pedagang yang masih membandel akhirnya di tertibkan secara paksa, karena pedagang menempati jalan umum, jika di biarkan akan mengakibatkan terganggunya Ketertiban umum._

“Bang, kok Abang nggak libur?, kan ini tanggal merah, besok masih Cuti bersama, Masa kita disuruh kelapangan terus, padahal yang lain santai-santai, status sama?”_* ledek rekannya sesama personil lapangan.

Satria hanya bisa dia, walaupun Hatinya mendidih, tapi mulutnya bungkam.

Bukan karena mau bicara, tapi karena ia tahu, bicara terlalu keras bisa berujung pada surat peringatan bahkan ancaman-ancaman Pimpinan serta pikiran negatif rekan-rekan yang sedang menikmati liburan.

Pukul 09.15 Wib, _setalah menertibkan pedagang di sepanjang jalan Pasar yang di mulai dari subuh,

Satria dan rekan-rekannya Istirahat di warung kopi belakang ruko.* Sesuai perintah Pimpinan sebelumnya, *_“jika mau istirahat jangan terlihat publik. Nanti di anggap petugas ketertiban tidak bekerja dan hanya duduk-duduk main handphone, ketika ada yang mengambil foto bisa viral di media sosial.”

Pukul 10.00 Wib, Matahari mulai menyengat, _Baru saja satria dan rekan-rekannya duduk istirahat dan sedang menunggu kopi yang belum jadi. HT-nya berbunyi lagi.

“Satria, personil lapangan pada kemana, ini tenda-tenda lapak pedagang dan juga pedagang-pedagangnya masih bertumpuk di sepanjang jalan pasar, Kerja kalia apa, yang benar kalau kerja.”

“Ini Pelayanan atau penindasan?”* batin satria.

_Handphone satria bergetar, di rumah, istrinya mengirim pesan:

“Anak nangis aja mau ngajak keluar jalan-jalan. Karena temen-temen sekolahnya sedang liburan, Kamu pulang jam berapa?”

Satria hanya membalas singkat, *“Belum tahu.

Di balik status ASN yang dianggap stabil dan bergengsi, Satria dan rekan-rekannya di lapangan hidup dalam sistem yang timpang.

Di balik kata-kata “pengabdian” dan “profesionalisme”, ada kenyataan bahwa tak semua ASN diperlakukan adil.

Yang biasa sehari-hari di meja kantor, mereka bisa tertawa saat long weekend, sementara yang di lapangan tak pernah tahu rasa libur._

Satria hanya menatap nanar. IA TIDAK IRI. IA HANYA MUAK

_Saat malam menjelang, tubuhnya lelah. Tapi HT-nya tidak berhenti,_

Satria, besok kamu dan Personil lapangan tetap standby ya. Masih banyak pedagang-pedagang yang berjualan di sepanjang Jalan dan pinggir pagar irigasi”

Ia ingin marah. Tapi marah ke siapa?_

“Pimpinan hanya mengenal perintah, bukan beban kerja. Mereka hanya mengerti laporan rapi, bukan lelah di bawah tekanan dan panas.”

Malam itu, Di rumah kontrakannya, *Satria duduk di samping anaknya yang Seharian nangis karena tidak dia ajak keluar Jalan-jalan. Matanya sembab.* _Istrinya, Tania, sedang membuatkan kopi di dapur.

“Abah kok kerja terus ya, kan hari libur selama empat hari?”_* tanya anaknya lirih.

Satria tersenyum kecut. *_“Iya, Nak. Negara belum kasih Abah waktu buat libur.”

Tania datang membawa kopi sambil menatap suaminya dengan prihatin._

Bah, emangnya Abah nggak bisa minta gantian? Masa kamu terus yang kerja di lapangan? Apa yang mereka berikan jika kamu roboh karena sakit?”

Satria menggeleng pelan,_ *“Bun, Abah sudah pernah coba ngomong, Tapi jawaban pimpinan, ‘Kalau nggak kuat kerja di lapangan, banyak yang mau gantiin. ASN itu PENGABDIAN, bukan ngeluh-ngeluh.

Tania, menghela napas panjang menatap suaminya dengan Iba.

Itu bukan pengabdian. Itu penindasan, Bah. Temen-temen Abah yang di balik meja kan statusnya sama, mereka liburan dan nyaman. sementara Abah disuruh kerja lapangan terus tanpa ada Istirahat untuk keluarga, bahkan yang katanya libur, itu hanya pengganti Istirahat malam. Itu juga abah jarang Istirahat, masih harus nganter jemput sekolah.”

Karena bagi kami yang di lapangan. Tanggal Merah hanyalah warna di kalender. Bukan di hidup Kami, Jika Protes maka harus siap di cibir, di jauhi, di pindah bahkan di singkirkan.

Kemudian, Istri dan anak Satria tidur karena sudah larut malam. 

_Satria secara perlahan menuju teras kontrakan untuk minum kopi buatan istrinya yang sudah mulai dingin.

Setalah minum kopi dan menghabiskan dua batang rokok,* _Satria membuat laporan kerja seperti biasa dan mulai membuat surat pengaduan dan Ditulis dengan jujur, tentang diskriminasi di birokrasi,_ *tentang beban ASN lapangan yang tak pernah diberi hak libur, tentang TEKANAN SISTEMATIS yang dibungkus kata “PENGABDIAN”

“Ia tahu surat itu mungkin tidak akan pernah di kirim apalagi dibaca. Tapi malam itu, ia tidak ingin diam dan menunggu waktu untuk bersuara.

Di akhir surat, ia menulis:_

*“Kami saat ini sama dengan yang di kantor sebagai ASN. Kami juga manusia. Jangan jadikan LOYALITAS sebagai ALAT PEMERASAN. Jangan jadikan PENGABDIAN sebagai TOPENG PENINDASAN. Karena kami MENJAGA KETERTIBAN, tapi HIDUP KAMI SENDIRI TIDAK TERTIB, TIDAK TENANG, dan JAUH DARI RASA ADIL.

Surat itu ia simpan. Mungkin suatu hari akan ia kirim. Mungkin suatu hari ada yang mau dengar. Tapi untuk saat ini, esok hari ia tetap akan tugas di lapangan, Karena di sistem ini,

YANG LIBUR, HANYA MEREKA.

Siang hari berikutnya nya, ia dipanggil ke ruang atasan di kantor Satpol PP.

Suasana sepi karena sebagian besar staf cuti bersama._

Satria,”* kata atasannya tanpa basa-basi, Saya apresiasi kamu dan rekan-rekan personil lapangan yang tetap jaga pasar dan Menertibkan pedagang, Tapi minggu depan kamu jangan minta libur ya, karena Pemindahan pedagang dari depan ke dalam.

_Satria ingin bicara. Ingin jujur soal kelelahan, soal gaji, soal ketidakadilan. Tapi mulutnya kelu._

_Ia hanya mengangguk dan berkata,_ *“Siap Laksanakan Komandan.”*

Karena ia sadar di kantor ini, jika Diam dianggap loyal. Jika mengeluh dan meminta keadilan dianggap pembangkangan.

*Dalam sistem birokrasi ini, yang patuh bukan yang paling dihargai, tapi yang paling bisa dibebani.

Ketika Satria pulang kerja di malam Hari. istrinya, duduk di meja makan dengan wajah cemas.

Bah, uang belanja tinggal segini. Bayar listrik belum, Si kakak butuh buku paket bulan depan

*Satria menghela nafas lalu diam, Pandangannya kosong. Pikirannya melayang ke kampus hukum tempat dulu ia kuliah, penuh idealisme tentang keadilan dan kesetaraan.

“Kamu nggak bisa terus kayak gini, bah, Tania bicara lagi.

“Status kamu sama dengan yang lainnya, tapi kamu terus di lapangan, gaji kecil, tidak dianggap. Mau sampai kapan?

_Satria menatap istrinya. Bingung harus menjawab apa, karena fakta kebenarannya tidak bisa dibantah._

Mungkin sudah waktunya bicara.

Pukul 10 malam, _ketika istri dan anaknya sudah tidur. Ia kembali membuka laptop. Surat pengaduan yang dulu pernah ia tulis, kini ia lengkapi dengan data-data konkret:_

Jumlah hari kerja tanpa libur, jumlah kegiatan yang ia tangani tanpa ganti waktu istirahat, dan perbandingan perlakuan antara ASN lapangan dan staf kantor.*

_Lalu, dengan hati berdebar, ia kirim ke Komisi ASN BKN dan salin ke inspektorat Pemerintah daerah._

Esoknya ia tetap bekerja ke lapangan, Tapi kali ini, bukan dengan rasa kalah. Ia tahu risikonya. Tapi ia lebih takut jika anaknya nanti bertanya:

Abah dulu diam karena takut atau karena tidak peduli pada penindasan dan ketidakadilan?”

Penutup

Beberapa minggu kemudian, seorang pejabat dari provinsi datang diam-diam ke kantor mereka. Melakukan verifikasi, meminta data. Tak banyak yang tahu kenapa.

Tapi Satria tahu. Mungkin keadilan berjalan lambat. Tapi ia tak lagi sendiri. Ia sudah memulai.

KARENA PENGABDIAN BUKAN BERARTI MENERIMA PENINDASAN DAN STATUS SAMA SEHARUSNYA MEMILIKI HAK YANG SAMA PULA.”

*TAMAT*

*ARDHI MORSSE, KAMIS 29 MEI 2025*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita7